Ayo kembangkan potensi wisata negara kita....

Daftar Alamat Hotel Di Makassar


Agus Hotel
Jl Nusantara Bl 332/344
90173
P: (0411) 310812
F: (0411)

Aman Hotel
Jl Mesjid Raya 32-34
P: (0411) 322554
F: (0411)

Amanat Wisma
Jl Haji Bau 19
90111
P: (0411) 873575
F: (0411)

Arumpala Cottage Hotel
Jl Jend Gatot Subroto 42
90211
P: (0411) 453566
F: (0411)

Astika Puriwisata PT Hotel
Jl Amirullah II 4
90131
P: (0411) 852688
F: (0411)

Bacan Hotel
Jl Bacan 6
90174
P: (0411) 329487
F: (0411)
Bandar Makassar Hotel
Jl Nusantara 344
90173
P: (0411) 331559
F: (0411)

Banua Hotel
Jl Haji Bau 7
90111
P: (0411) 870118
F: (0411)

Berlian Hotel
Jl Jend Urip Sumoharjo 43
90232 P: (0411) 459289
F: (0411)

Bumi Asih Makassar Hotel
Jl Dr Sam Ratulangi 7
90113
P: (0411) 875555
F: (0411)

Bungaya Hotel
Jl Letjen Andi Mappaouddang 80
90122
P: (0411) 850757
F: (0411)
Celebes Indah Hotel
Jl Gn Latimojong 142-B
90141 P: (0411) 330950
F: (0411)

Citra Wisata Hotel
Jl Botolempangan 28 90113
P: (0411) 311018
F: (0411)

Losari Inn
Jl Penghibur 3
90111 P: (0411) 322115
F: (0411)

Delta Hotel
Jl Sultan Hasanuddin 43
90113
P: (0411) 312711
F: (0411)

Diaz Hotel
Jl Maccini Psr Malam 17
90144
P: (0411) 443427
F: (0411)
Dinasti Hotel
Jl Lombok 30
90174
P: (0411) 325657
F: (0411)
Hasanuddin Transit Hotel
Jl Perintis Kemerdekaan Km 21
90551
P: (0411) 553963
F: (0411)

Horison Hotel
Jl Jend Sudirman 24
P: (0411) 3650403
F: (0411)

Imperial Aryaduta Hotel
Jl Somba Opu 297
90112
P: (0411) 870555
F: (0411)

Istana Hotel
Jl Sungai Saddang 96
90142
P: (0411) 855380
F: (0411)

Kabaena Hotel
Jl Kabaena 29
90171
P: (0411) 325790
F: (0411)
Kenari Dua Sembilan Makassar PT
Jl Veteran Slt 1
90133
P: (0411) 452446
F: (0411)

Kenari Hotel
Jl Yosep Latumahina
90112
P: (0411) 874250
F: (0411)

Kenari Pantai Hotel
Jl Somba Opu 289
90112
P: (0411) 852352
F: (0411)

Kiwi Indah Hotel
Jl Sungai Cerekang 36
90115
P: (0411) 326563
F: (0411)

Latobang Wisma
Jl Andi Mappaodang 117
90133
P: (0411) 871804
F: (0411)

Losari Metro Hotel
Jl Chairil Anwar 19
90112
P: (0411) 331327
F: (0411)

Lydiana Hotel
Jl Botolempangan 33
90113
P: (0411) 328004
F: (0411)

Lydiana Wisma
Jl Pelita Raya 45
90222
P: (0411) 443746
F: (0411)

Makassar Cottage
Jl Dangko 50-52
90224
P: (0411) 873559
F: (0411)

Makassar Metro Hotel
Jl Tentara Pelajar 61-63
90173
P: (0411) 323671
F: (0411)

Makassar Royal Hotel
Jl Dg Tompo 8-10
90112
P: (0411) 328488
F: (0411)

Mangga Dua Hotel
Jl Tanimbar 8
90171
P: (0411) 331122
F: (0411)

Maricaya Hotel
Jl Kijang 2-4
90124
P: (0411) 876787
F: (0411)

Merpati Hotel
Jl Tinumbu 139-B
P: (0411) 315532
F: (0411)

Mirah Hotel
Jl Sungai Cerekang 44-AB
92712
P: (0411) 326243
F: (0411)

Murah Hotel
Jl Sarappo 60
90164
P: (0411) 323101
F: (0411)

Nusantara Hotel
Jl Sarappo 103
90164
P: (0411) 323163
F: (0411)

Oriental Hotel
Jl Wolter Monginsidi 44
90142
P: (0411) 873558
F: (0411)

Panakkukang Hotel
Jl Boulevard Bl B-3/29-30
P: (0411) 425303
F: (0411)

Pantai Gapura Makasar Hotel
Jl Pasar Ikan 10
90111
P: (0411) 325791
F: (0411)

Pinang Mas Hotel
Jl Sungai Saddang Baru 18
90143
P: (0411) 445339
F: (0411)

Pondok Istana
Jl Gn Salahutu Lr 64 1
90145
P: (0411) 323152
F: (0411)

Pondok Wisata Nusantara 17
Jl Mesjid Raya 111
90156
P: (0411) 448317
F: (0411)

Pulau Kayangan Hotel
Jl Ujung Pandang 6
90111
P: (0411) 315752
F: (0411)

Ramayana Satrya Hotel
Jl Gn Bawakaraeng 121
90151
P: (0411) 442478
F: (0411)

Rosalina Hotel
Jl Mesjid Raya 75
90152
P: (0411) 448508
F: (0411)

Rosna Hotel
Jl Barrang Lompo 58
90166
P: (0411) 315833
F: (0411)

Sahid Jaya Makassar Hotel
Jl Dr Sam Ratulangi 33
90132
P: (0411) 875757
F: (0411)

Santika Hotel Makassar
Jl Sultan Hasanuddin 40
90111
P: (0411) 332233
F: (0411)

Savu Hotel
Jl Savu 11
90174
P: (0411) 325223
F: (0411)

Singgasana Hotel
Jl Kajaolalido 16
P: (0411) 319844
F: (0411)

Surya Berlian Hotel
Jl Amanagappa 7
90111
P: (0411) 327208
F: (0411)

Surya Mas Hotel
Jl Botelempangan 21
90113
P: (0411) 322651
F: (0411)

Taman Marannu Hotel
Jl Baji Gau 52
90134
P: (0411) 852245
F: (0411)

Venus Kencana Hotel
Jl Botolempangan 17
90113
P: (0411) 324995
F: (0411)

Virgo Hotel
Jl Sumba 109
90174
P: (0411) 321451
F: (0411)

Wisma Makassar PT
Jl Savu 11-A
90174
P: (0411) 331396
F: (0411)

Yasmin Hotel
Jl Jampea 5
90174
P: (0411) 320424
F: (0411)

Selengkapnya...

Taman Prasejarah Leang-Leang

Leang-leang adalah kawasan yang terletak di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, tidak jauh dari lokasi taman wisata air terjun Bantimurung. Leang-leang merupakan bagian dari ratusan gua prasejarah yang tersebar di perbukitan cadas (karst) Maros-Pangkep. Leang dalam bahasa Makassar berarti gua (Bahasa Indonesia: liang yang berarti lubang).

Tanda peradaban yang sangat tua tersimpan di Taman Prasejarah Leang-Leang. Bukan fosil purba, melainkan lukisan di dinding gua. Para arkeolog memperkirakan, lukisan-lukisan itu dibuat 5.000 tahun silam.

Obyek wisata prasejarah seperti Leang-leang jarang ditemui di dunia. Apalagi yang berada di kawasan karst luas. Gua-gua tersembunyi di antara batu-batu cadas yang menjulang dan kaya akan vegetasi serta biota. Lukisan dan peninggalan manusia prasejarah di Leang-leang memberikan petunjuk tentang peradaban mereka, peradaban nenek moyang manusia. Peninggalan arkeologis bercerita banyak hal.

Adalah Van Heekeren dan Miss Heeren Palm, dua arkeolog Belanda, yang menemukan gambar-gambar pada dinding gua (rock painting) di Gua Pettae dan Petta Kere, dua gua di Leang-leang, pada tahun 1950. Gambar-gambar itu dominan berwarna merah. Mereka terkesima terhadap peninggalan prasejarah itu dan segera merekonstruksi cerita di balik pembuatan gambar-gambar itu.

Gua Pettae menghadap ke barat. Tinggi mulut gua delapan meter dan lebar 12 meter. Peninggalan yang ditemukan pada gua ini adalah berupa lima gambar telapak tangan, satu gambar babi rusa meloncat dengan anak panah di dadanya, artefak serpih, bilah serta kulit kerang yang terdeposit pada mulut gua. Untuk mencapai gua ini wisatawan harus menaiki 26 anak tangga.

Sementara Gua Petta Kere berada 300 meter di sebelah Gua Pettae. Mulut gua menghadap ke barat. Terdapat teras pada mulut gua selebar satu atau dua meter yang berfungsi sebagai pelataran gua. Peninggalan yang ditemukan pada gua ini adalah dua gambar babi rusa, 27 gambar telapak tangan, alat serpih bilah, dan mata panah. Untuk mencapai gua ini wisatawan harus mendaki 64 anak tangga.

Gambar-gambar pada dinding gua dan alat-alat yang mereka tinggalkan menceritakan kehidupan sosial mereka, termasuk aktivitas dari kepercayaan yang mereka anut saat itu. Salah satu gambar telapak tangan diperkirakan sebagai cap telapak tangan milik salah satu anggota suku yang telah mengikuti ritual potong jari. Ritual itu dilakukan sebagai tanda berduka atas kematian orang terdekatnya.

Para arkeolog memperkirakan, gambar-gambar itu sudah berumur sekitar 5.000 tahun lebih. Gua-gua tersebut telah dihuni sekitar tahun 8000- 3000 sebelum Masehi. Gambar-gambar yang berwarna merah marum terbuat dari bahan pewarna alami yang dapat meresap kuat ke dalam pori-pori batu sehingga tidak bisa terhapus dan bertahan ribuan tahun.

Keberadaan gua-gua tersebut juga menceritakan pola migrasi manusia prasejarah dan lingkungan saat itu. Pulau Sulawesi merupakan daerah lintasan strategis dalam jalur migrasi penduduk dari daratan Asia ke Pasifik selatan. Gua-gua adalah satu-satunya tempat yang ideal untuk berlindung, baik sebagai tempat tinggal ataupun sekedar transit.

Sementara kulit-kulit kerang yang terdeposit di mulut gua menunjukkan, ketika manusia gua tinggal di tempat tersebut, permukaan air laut berada setinggi 80 meter dari daratan yang ada sekarang.

Pemandangan yang mengelilingi kawasan Leang-leang sangat indah. Yang paling terlihat adalah tebing-tebing curam yang menjulang tinggi. Tidak jauh dari tempat itu, perkebunan membentang dengan tanaman musiman. Pohon-pohon rindang menjadi pemandangan dominan. Hawa yang sejuk terpadukan dengan suara air sungai yang mengalir. Di lokasi ini terdapat empat gazebo yang bisa digunakan wisatawan untuk beristirahat.

Sumber : Kota Maros , Prov. Sulsel
Selengkapnya...

Info Buku Judul: Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional

Judul: Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 (And the Sun Pursued the Moon) | Thomas Gibson | Penerbit Ininnawa | Mei 2009

Dalam rentangan seribu tahun, sejak tahun 600-1600, Laut Jawa didominasi oleh lingkaran kerajaan-kerajaan maritim yang penguasanya terlibat dalam penjarahan, perdaganan dan pernikahan jarak jauh. Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar menjelajahi proses ekonomi, politik dan simbolik yang menggabungkan masyarakat Makassar ke dalam sistem regional. Ketika kekaisaran seperti Sriwijaya, Kediri dan Melaka menggenggam hegemoni atas wilayah ini, mereka memperkenalkan model-model baru kerajaan di wilayah pinggiran seperti Makassar di pesisir Sulawesi Selatan. Saat model demi model kuasa istana bergantian duduk di singgasana, model ini melekat ke dalam mitos dan ritual lokal. Tatkala raja-raja Sulawesi Selatan memeluk Islam di awal abad ke 17, setidaknya ada enam model kekuasaan yang hadir di wilayah ini. Islam memperkenalkan model-model religius dan politik yang baru, dan menambahkan kompleksitas simbolis di kawasan ini.

Untuk memahami lebih baik kaitan antara pengetahuan simbolik dan kekuasaan tradisional istana di masyarakat Makassar, Thomas Gibson menggunakan banyak jenis sumber dari beragam disiplin akademik. Dia menunjukkan bagaimana mitos dan ritual menghubungkan bentuk pengetahuan praktis (pembuatan perahu, navigasi, pertanian, peperangan) dengan kategori-kategori dasar seperti gender dan pelapisan berdasar keturunan, serta fenomena alam, ruang angkasa dan kosmologis.
Dia juga memperlihatkan bagaimana agen-agen historis menggunakan infrastruktur simbolik ini untuk menggapai tujuan politik dan ideologisnya.

Gibson menyimpulkan dengan meletakkan bahan ini dalam kaitannya dengan Islam dan ritual-ritual siklus hidup. Gibson melakukan analisis antropologis, mitologis, tekstual dan historis untuk memperlihatkan bahwa pengetahuan simbolik Makassar tidak tersusun oleh seamless whole. Melainkan terbangun dari beragam model yang saling bersaing, masing-masing dengan asal-usul historis dan sumber geografis yang unik. Buku ini menarik bagi mereka yang mendalami antropologi, folklor, sejarah dan ilmu politik perbandingan; dan bidang interdisiplin yang baru mencuat, kajian budaya, subaltern dan poskolonial; serta asal-usul globalisme dan transnasionalisme.


INFORMASI PEMESANAN

Terbitan Ininnawa ini dapat diperoleh di Distribusi KAMPUNG BUKU Jl. Abdullah Daeng Sirua 192/E, (Samping Kantor kelurahan Pandang) Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan 90245 atau pemesanan via sms ke (0411) 2357627/081342982923 atau distribusiininnawa@gmail.com.
Selengkapnya...

KARAENG PATTINGALLOANG (Raja Tallo Ke8/Mangkubumi Kerajaan Gowa) # selesai

Artikel Dari Daeng Suwandy
Bila Ingin Berdiskusi mengenai Artikel diatas Mari kesini
http://www.facebook.com/topic.php?uid=54037219792&topic=11007

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena begitu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bernama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein

Yang artinya sebagai berikut:

Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.

Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan Handal di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Sebuah Pesan yang Mampu menembus Ruang dan Waktu. Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan Tumenanga ri Bonto Biraeng

Selengkapnya...

KARAENG PATTINGALLOANG (Raja Tallo Ke8/Mangkubumi Kerajaan Gowa) # 1

Artikel Dari Daeng Suwandy
Bila Ingin Berdiskusi mengenai Artikel diatas Mari kesini
http://www.facebook.com/topic.php?uid=54037219792&topic=11007

Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng MaNyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Gowa.

Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya sebagai Raja Tallo. Pada saat ia menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda,Portugis, Denmark, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang VOC Belanda di Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Selengkapnya...

Syekh Yusuf Al Makassary, Antara Pejuang Kemerdekaan Dan Penyebar Islam #4

Menekuni jalan dakwah

Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.

Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.

Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.
Technorati Profile
Selengkapnya...

Syekh Yusuf Al Makassary, Antara Pejuang Kemerdekaan Dan Penyebar Islam #3

Terlibat pergerakan nasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sahabatnya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.

Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.

Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Selengkapnya...

Berlangganan artikel lewat email :

Delivered by FeedBurner